Maaf...

           Aku menulis ini bersamaan dengan awan hitam yang mulai menyembunyikan indahnya langit. Sinar mentari pun tak mampu menembusnya. Angin yang mulai berhembus dingin. Burung-burung yang mulai beterbangan mencari tempat untuk berteduh. Angsa-angsa yang kegirangan karena akan berpesta, suara ayam yang bersaut-sautan seakan memberi tahu bahwa hujan tak lama lagi turun.
       Melihat keadaan itu aku jadi teringat padamu, walau sebenarnya aku memang tak pernah berhenti mengingatmu. Ya, aku bahkan mengingat setiap detail tentangmu. Aku ingat bagaimana kamu memotivasi orang banyak, aku ingat bagaimana tegasnya sikapmu, aku ingat betapa sangat ramahnya kamu, aku ingat betapa kamu, bisa membuatku sangat bahagia ketika melihat tawa renyahmu. Aku ingat ketika kamu memberikan suntikan motivasi besar untuku. Dulu. Ya, dulu. Ketika semuanya belum berubah seperti saat sekarang. 
        Memang salahku yang terlalu menganggap perhatian-perhatian kecil itu suatu hal yang istimewa. Padahal, kamu melakukan itu kepada siapa saja yang mengenalmu. Kesalahan besar yang aku lakukan, hingga aku tak dapat berhenti untuk berharap, tak pernah berhenti untuk merindu. Walau, kamu sama sekali tak tau dan tak mengerti apa-apa.
          Maaf, aku terlalu lancang untuk membiarkan perasaan ini terus tumbuh dan berkembang. Maafkan aku yang tak tahu diri. Kamu, adalah seorang motivator hebat yang bisa membangkitkan motivasi setiap orang yang mendengarmu, aktivis organisasi, dikenal banyak orang. Sungguh, tak sebanding denganku yang hanya seorang perempuan biasa, orang tidak berorganisasi, hanya teman kelas dan kelas tetangga yang mengenalku, dan segenap keterbatasan lain yang aku miliki. Sekali lagi, maaf atas sikapku yang lancang.
          Kini,  Kamu sudah memiliki wanita~yang sangat kau sayang dan kau puja, wanita impianmu. Dia sangat cantik, dan cerdas terlihat sangat energik. Aku yakin kamu sangat-sangat bahagia memilikinya, terlihat dari bagaimana senyumu ketika melihatnya. Aku tak pernah melihat kamu sebahagia ini. Dia, memang orang yang pantas bersanding denganmu.
        Tetesan air yang jatuh semakin lama semakin deras. Tak terdengar lagi suara ayam yang bersaut-sautan, tak terlihat lagi burung yang beterbangan. Hanya angsa yang berbahagia berenang di kolam di tengah derasnya hujan. Mataku terasa panas, bulir-bulir air mata, perlahan membasahi kedua pipiku. Entah kali keberapa aku menangis karenamu. Tentu ini bukan salahmu, kamu tak tau dan tak mengerti apa-apa. Aku yang salah karena terlalu jauh membiarkan perasaan ini, sehingga akhirnya menyakiti diriku sendiri. Bodoh memang.
              Air mata ini mengalir semakin deras di pipiku, bersamaan dengan semakin derasnya hujan di sore ini. Air-air hujan mulai mengalir mencari muara untuk menampung airnya, membawanya hingga samudera tak terbatas luasnya. Air mataku~tak tahu akan bermuara kemana, namun yang pasti air mata ini akan mengering seiring dengan lukaku yang akan mengering. Angin mulai berhembus lagi, dingin, hingga menusuk, memaksa masuk ke dalam hati yang terdalam, menyayat pilu hati yang sedang merindukan orang~yang tak bisa dia gapai~tak sepantasnya dia rindukan.