maaf....

Saat ini, hujan sedang turun, cahaya kilat tengah menghiasi langit yang tengah dipenuhi awan hitam. Suara menggelegar bergema tak lama setelah kilat itu bercahaya.

Saat ini bersama hujan, aku tengah merasakan kepedihan, kesedihan. Semua kejadian bergantian bermain di otakku. Kau, seseorang yang sudah kuanggap sebagai kakak bagiku. Teman curhat sekaligus tempat untuk berbagi. Mungkin tak akan ada lagi semua itu sekarang. Tak ada lagi ceritamu di setiap harinya. Pun denganku kini, tak ada lagi partner sharing terbaikku kini.

Memang aku yang memulai, aku yang memutuskan untuk menjauh setelah kau menceritakan segalanya. Aku yang memutuskan untuk segera mundur tanpa basa-basi dan dalam waktu singkat. Mungkin, kekecewaan yang mendorong itu semua, kekecewaan pada apa yang telah kau ucapkan. Tapi, bukan karena aku cemburu atau memiliki perasaan lain untukmu. Tentu tidak. Aku kecewa karena apa yang kau ucapkan dulu tak sesuai dengan perbuatanmu sekarang, kau, mengucapkan apa yang dulu kau pernah bilang tidak akan melakukannya, kau berubah menjadi seseorang yang kau katakan kau tak akan pernah menjadi itu.

Kini, kecewa dan rasa sedih itu semakin menjadi. Kau mengajarkanku tentang segala hal. Kau menjadi perantara untuk datangnya hidayah padaku. Tapi, aku sendiri tak bisa menarikmu ketika kau tergelincir ke jurang yang salah. Aku tak bisa menahanmu ketika kau beranjak pergi ke jalan yang salah. Sudah kucoba berbagai hal,namun,kau tetap pada pendirianmu kini, kau tetap tidak mengindahkan apa yang aku katakan. Kau tetap memilih berada di jalan itu. Mungkin, kau sedang membenciku karena aku terlalu masuk ke dalam.ranah pribadimu,aku terlalu ikut campur pada kehidupanmu. Kau pasti sangat-sangat membeciku kini.

Ketahuilah,aku hanya berusaha menolongmu. Aku hanya berusaha membalas segala kebaikan yang telah kau lakukan padaku. Aku hanya sedang berusaha menarikmu kembali.

Ternyata aku terlalu lemah. Aku tidak dapat melakukan itu semua. Kini,aku hanya dapat melihatmu menjauh berasama perasaan benci untukku. Aku tak dapat melakukan apapun kini, selain doa, doa yang selalu kuucapkan pada-Nya agar kau segera kembali.

Kini,angin berhembus membawa hawa dingin yang mulai menusuk tulang. Mulai menampar keras pipi yang kini tengah basah oleh bulir bulir kesedihan dan kekecewaan. Namun kini,bukan lagi kekecewaan terhadapmu, tapi kekecewaan dan kesedihan pada diri sendiri yang tak dapat melakukan apapun.

jatinangor, 2 Mei 2015

untukmu, yang mungkin tak akan pernah membaca ini

Entah harus senang atau sedih mendengarnya, mendengar penjelasan itu, namun yang pasti ada perasaan kecewa mendengarnya.
Bukan, bukan karena aku menyimpan rasa yang lebih padamu, rasa itu masih tetap sama, seperti layaknya seorang adik terhadap kakaknya.
Kau, berubah menjadi sesuatu yang kau bilang tak akan menjadi seperti itu. Ada rasa kecewa, ternyata kau, tak sehebat yang aku pikirkan. Seluruh rasa kagumku padamu-seseorang-yang-menjadi-kakak-bagiku memudar sudah, hilang sudah tak berbekas. Semudah itukah kau menanggalkan prinsipmu? Sekuat itukah badai yang telah menerpamu? Hingga akarmu tak mampu lagi untuk menopang itu semua. Masih ingatkah kau pada kata kata yang telah kau ucapkan dahulu? Atau bahkan mungkin  kata kata itu sudah tak membekas sama sekali di hatimu? 
Sudahlah, sepertinya percuma saja aku berbicara panjang lebar padamu. Toh telingamu sudah tak ingin mendengar perkataanku, hatimu sudah tak menerima lagi apa yang aku ucapkan. Hatimu, sudah terlalu keras untuk itu.
Aku hanya anak kecil, begitukan anggapanmu?  Tentu kau lebih tahu segala hal dibandingkan aku, yang masih sangat kecil sekali pengetahuanku jika dibandingkan denganmu. Aku sadar betul akan hal itu. Ah, mungkin itu salah satu penyebab kau tak ingin mendengar perkataanku. 
Pernah ada seseorang yang bertanya padaku, Bolehkah aku kembali mempertanyakan itu padamu? Apakah amalmu sudah cukup banyak hingga kau melakukan apa yang sudah jelas Allah larang atau kau tidak melakukan kewajiban yang sudah jelas-jelas Allah pertintahkan? Sudah sangat yakin kah kau akan cukupnya amal untuk di hari akhir nanti?
Ah sudahlah, percuma saja, kau tak akan menjawab pertanyaan ini. Membacanya saja pun tidak akan. Atau, mungkin jika kau membaca tulisan ini, kau akan menggerutu,  bahkan membeciku pada saat ini juga. Atau kau akan berkata "ah, hanya tulisan seorang anak kecil yang tak tau apa apa".
Aku, merindukan sosok itu, sosok yang membuatku kagum akan keislamannya,  sosok yang dapat memotivasi untuk terus memperbaiki diri. Aku hanya merindukan sosok yang menginspirasi itu. Apakah dia akan kembali? Atau bahkan akan semakin menghilang? Apakah kau dapat menjawabnya?
Lagi-lagi pertanyaanku tidak penting bukan?Sudahlah...
Tak banyak doaku, Semoga kau ingat perkataanmu dahulu..

Jatinangor 20 februari 2015


dari adik yang menyayangimu..

Belasan tahun silam...

Awan hitam mulai menutupi teriknya panas matahari. Angin yang berhembus kencang menerbangkan dedaunan. Perlahan, rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi. 

Hujan ini kali ini berbeda, kini, aku berada pada tempat yang tak biasa, sebuah tempat yang biasa disebut tempat perjuangan, ya, asrama. Berjarak perpuluh puluh mil dari tempat biasa aku berada. 

Entahlah, hujan kali ini begitu banyak membawa kenangan, membuka memori lama. Memandang hujan memang selalu begitu. 

Di kamar yang sepi ini, pikiranku kembali ke masa lalu.

Dulu, 14 tahun yang lalu, aku berada di tempat yang tak pernah terlupakan, bersama dengan teman-teman bermain bersama, saat itu kami tak bisa bermain di luar, hujan terlalu deras untuk ukuran anak kecil seperti kami, walau ingin, namun omelan mama mengurungkan niat kami. 

O ya, saat itu papa membelikan mainan baru, seperangkat mainan kedokteran. Stetoskop, suntikan, obat-obatan mainan, sungguh, hujan di luar tak kami indahkan saat itu, karena kami, terutama aku, terlalu bersemangat bermain dokter-dokteran.

Sekarang, aku sudah berada di sini, menuntut ilmu untuk menjadi dokter sungguhan. Dengan stetoskop yang bukan lagi mainan. Tapi, entahlah, aku seperti kehilangan semangat, aku kehilangan arah, aku kehilangan tujuan awalku. Aku seperti terombang-ambing di lautan lepas. Saat itulah pertanyaan besar muncul. Sanggupkah aku? Sanggupkah aku mengemban amanah ini? Sanggupkah aku tidak mengecewakan mereka yang mempercayaiku?

"cuma kamu yang kini berminat meneruskan jejak nenek dan kakekmu"

Aku memang tak tahu bagaimana sebenarnya kakeku, karena waktu yang tak sejalan. Yang aku tahu tentang kehebatan beliau menolong orang orang sekitar dengan profesinya sebagai tenaga medis  yang masih jarang pada saat itu, yang kini, mereka mengharapkan bahwa aku akan menjadi penerus beliau. 

Aju ingat ketika nenek selalu bertanya aku ingin jadi apa? Dan beliau menceritakan semua pengalaman beliau ketika masuk di sekolah keperawatan, kemudian menolong orang lain. Saat pembicaraan itu, aku belum terlalu menganggapnya serius. 
Namun, kini, disaat aku membutuhkan banyak diskusi tentang hal itu, kondisinya sudah berbeda.

Terlalu banyak memori yang terbuka kali ini, sungguh aku merindukan mereka, aku merindukan diriku sendiri. Aku merindukan diriku yang tak seperti ini, aku merindukan aku di masa kecil, ketika aku tak takut pada apapun. Tak takut apa yang akan terjadi kedepannya, hanya menjalankan semuanya dengan bahagia.

Mungkin aku sudah terlalu jauh, terlalu jauh dari jalanku yang seharusnya, aku terlalu sibuk dengan hal-hal yang tak perlu, aku terlalu sibuk memikirkan hal-hal kecil yang sesungguhnya itu tidak perlu dipikirkan, aku terlalu sibuk memikirkan bagaimana aku ke depannya, bagaimana slanjutnya, aku lupa bahwa Allah lah yang telah menjamin segalanya. Aku lupa bahwa semua ini, semua yang terjadi padaku adalah bagian dari rencananya, skenarionya, aku hanya sebatas pemeran dari semua skenario itu. 

Hati


Hati, tentu hati yang saat ini dibahas bukan hati anatomi bagian dari tubuh manusia. Ini adalah tentang yang tak terlihat yang hanya bisa di rasakan. Begitu banyak yang membicarakan ini, karena ini berhubungan langsung dengan sebuah perasaan. Namun, kebanyakan dari kita hanya sebatas merasakan pada permukaan hatinya saja, belum sampai ke dasar hati. Karena, ketika kita hanya merasakan pada permukaannya saja, ‘rasa’ itu akan menjelma menjadi berbagai macam wajah. Wajah ingin memiliki seseorang, wajah memaksa orang itu untuk memiliki ‘rasa’ yang sama dengan kita, wajah yang melarang orang itu berhubungan dengan orang lain karena merasa bahwa dia milik kita. Wajah yang memiliki seribu satu alasan menyayangi orang lain. Perasaan yang tersamarkan.

Namun, ketika kita sampai pada dasar hati, ketika kita bisa menyelami hati kita sendiri, kita akan mendapati bahwa sebuah perasaan adalah sebuah ketulusan. Ketulusan tentu saja tidak pernah memaksa. Tidak pernah memaksa orang menjadi milik kita, tidak memaksa orang memiliki perasaan yang sama dengan kita, juga tidak melarang orang lain untuk berhubungan dengan siapa pun. Ketulusan adalah ketika kita bisa merasakan bahagia ketika dia, orang yang kita sayangi mendapatkan apapun yang terbaik untuknya, termasuk pasangan hidup, walaupun bukan kita  yang menjadi pendampingnya. Hati yang menyayangi dengan tulus tidak akan ada alasan yang menyertainya, tidak ada alasan karena dia kaya, dia tampan, dia baik, dia cantik atau apapun. “Karena hati tidak pernah bisa memilih”, jika kita paham maknanya tentu tak akan ada jawaban yang terlontar ketika ada yang bertanya “Kenapa kamu menyayangi dia?”. Seperti ketika seseorang bertanya begini “mengapa kamu menyayangi ibumu?”, siapa yang tak menyangi ibu kita dari lubuk hati yang terdalam, walaupun mungkin ibu kita itu tidak seperti apa yang kita harapkan, itulah rasa sayang yang TULUS.
Rasa sayang juga bukan yang selalu terucap, tetapi yang selalu ada di dalam hati. Terkadang rasa sayang yang ada di dalam hati tidak selalu harus terucap.

Maaf

Maaf, maaf karena telah lancang mencoba memasuki kehidupanmu.
Maaf, maaf karena telah menggantungkan harapan padamu.
Maaf, maaf karena selama 5 tahun ini sudah banyak membicarakanmu.
Maaf, maaf karena mungkin telah mengganggu waktumu beberapa waktu lalu.
Dan, maaf untuk ketidak tau-dirianku.
Sejak hari ini, aku tak akan membicarakanmu lagi, tak akan menggantungkan harapanku lagi, tak akan mengganggumu lagi.

Dan...terimakasih telah meluangkan waktu beberapa waktu lalu, walau mungkin kamu sendiri tak ingin.

260214

Surat untuk calon imam kelak

Nemu ini di salah satu blog, tapi lupa lagi nama blognya apa. Seenggaknya ini jadi ketenangan tersendiri saat mulai bimbang.



...بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم 

Untukmu Bakal 'Imam'ku yang tiada siapapun
mengenali termasuklah diri ini, dirimu masih rahasia penciptamu..rahasia yang telah ditentukan untukku, yang perlu kusingkap dengan segunung taubat dan sepenuh sungguhan sujudku, cuma jambatan istikharah jua yang bisa merangkai rahasiaku ini....

Ketahuilah wahai mujahidku, Ketahui namamu tidak menjadi idamanku, apalagi untuk menatap wajahmu, menggeletar diri ini apabila terfikirkan azab Allah, justru diri ini amat bersyukur karena masih tidak ditakdirkan sembarang pertemuan antara kita, ku bimbang andai terjadi pertemuan itu sebelum lafaz akad darimu, sungguh kita menempuh siksaan Allah. Ya Tuhan kami lindungi kami...

Biar bertahun lama, yang ku tunggu bukan dirimu tetapi yang ku tunggu adalah lafaz akad yang akan membimbing diri ini ke Jannah Allah. Apalah artinya perasaan kasih yang bersemi untukmu suamiku andai maharnya bukan kemampuanmu untuk mendidikku menjadi mujahidah yang mencintai DIA lebih dari segala...

Tiada yang lebih bahagia suamiku, melainkan didikanmu yang akan membuat diri ini mencintai perjuangan menegakkan Dien ini, berikan ku sepenuh kekuatanmu dalam mendidik iman ku agar syahid ku damba, berikanku segala kasihmu jua agar sujudku kan tegar padaNya dalam memohon dikurniakan pada kita mujahid-mujahid yang akan menyambung perjuangan abah mereka.

Berikanku sepenuhnya sebagian hati yang kau sediakan untuk diriku, agar sebagian hati mu itu akan menjadi inspirasi padaku untuk menghantar satu per satu mujahid kita ke medan jihad. Mungkin kau heran suamiku, mengapa diri ini hanya maukan sebagian hatimu dan bukan sepenuhnya. Suamiku, hatimu itu milik Rabbul jalil, dan kumohon sebagian itu sebagai semangatku wahai suamiku. Dari awal lagi sudah kudidik hati ini, bahwa dirimu, suamiku, bukan milikku dan juga mujahid-mujahidku itu bukan milikku... kalian milik Allah, dan diriku hanya medan yang diciptakanNya untuk menyambung generasi jihad dari rahim ini.

Wahai suamiku, seadanya diri ini sekarang, hanyalah dalam mujahadah mentarbiyyah jiwa agar diriku bisa menjadi sayapmu mengenggam syahid. Tersangatlah bimbang diri ini andai ku gagal mendidik hati, karna yang kuimpi seorang pejuang untuk menyambung jihad yang terbentang dengan melahirkan para mujahid...

Wahai suamiku, walau dimana jua dirimu dan siapa jua dirimu yang pasti bersama kita mendidik hati mencintai SYAHID demi ridhaNya, sebagai hamba yang menikmati kurniaan yang tidak terkira dari Rafi'ul A'la, bersamalah kita bersyukur, bersyukur dengan mencintai DIA lebih dari segala isi dunia dan dunia ini...karna hilang arti pada sebuah kehidupan andai cinta dari Allah tidak kita balas, andai cinta sementara bisa melukakan hati sepatutnya hati-hati kita robek sudah karna gagal membalas segunung cinta dari DIA Maha Esa...

Semoga semuanya terjawab dalam sujud yang kita labuhkan demi ridhaNya... biarlah seribu malam berlalu tapi pastikan ianya berlalu dengan alunan sendu dalam sujud kita diatas lembaran tahajjud...

Quote Islam
 

Takdirku

Tak ada yang manusia yang bisa memilih ingin dilahirkan dalam kondisi seperti apa, baik atau buruk, sempurna atau tidak. Tak ada manusia yang bisa memilih takdirnya. Semua itu sudah ditetapkan oleh sang pencipta dengan skenario yang begitu indahnya, kita hanya belum mengetahuinya.

Begitupun aku, aku tak bisa memilih dilahirkan seperti apa dalam keluarga yang bagaimana, aku juga tak bisa memilih takdirku menjadi apa. Aku memang terlahir normal, tak terlihat kecacatan dalam fisikku pada mulanya. Namun, seiring berjalannya waktu, semuanya semakin terlihat jelas. Aku tak seperti manusia normal pada umumnya. Tendon lututku lemah, aku tak dapat menjalankan aktifitas dengan maksimal. Ini semacam tamparan keras di pipiku. Masa remaja yang aku impi-impikan berjalan dengan normal harus pupus. Aku bahkan tidak bisa mengikuti pelajaran olang raga sejak SMP hingga saat ini. Kadang, aku berfikir 'mengapa aku yang mengalami ini semua?'. Aku menyesali kondisi diriku saat itu, aku marah pada keadaanku.

Hingga suatu hari, aku bertemu dengan seseorang yang sebaya denganku. Dia bahkan tidak bisa berjalan dengan normal, sebelah kakinya harus disered agar ia mampu berjalan. Aku bisa merasakan berjalan seperti itu tidaklah mudah. Aku pandang diriku sendiri, membandingkan dengan keadaan dia. Sungguh aku merasa malu pernah berpikiran bahwa Allah tidak adil. Aku sungguh malu dan memaki diriku karena pernah menyesali kondisiku. Aku merasa sangat bersyukur karena aku masih diberi kesempatan untuk berjalan dengan normal, walaupun tak bisa berlari.

Dan saat ini, saat cita-cita dan mimpiku harus terhenti karena kondisiku yang tidak memungkinkan. Ada rasa kecewa di dalam hatiku, namun aku yakin ini semua yang terbaik untuku. Aku sangat sangat yakin dan percaya bahwa rencana-Nya lah yang terbaik.