Belasan tahun silam...

Awan hitam mulai menutupi teriknya panas matahari. Angin yang berhembus kencang menerbangkan dedaunan. Perlahan, rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi. 

Hujan ini kali ini berbeda, kini, aku berada pada tempat yang tak biasa, sebuah tempat yang biasa disebut tempat perjuangan, ya, asrama. Berjarak perpuluh puluh mil dari tempat biasa aku berada. 

Entahlah, hujan kali ini begitu banyak membawa kenangan, membuka memori lama. Memandang hujan memang selalu begitu. 

Di kamar yang sepi ini, pikiranku kembali ke masa lalu.

Dulu, 14 tahun yang lalu, aku berada di tempat yang tak pernah terlupakan, bersama dengan teman-teman bermain bersama, saat itu kami tak bisa bermain di luar, hujan terlalu deras untuk ukuran anak kecil seperti kami, walau ingin, namun omelan mama mengurungkan niat kami. 

O ya, saat itu papa membelikan mainan baru, seperangkat mainan kedokteran. Stetoskop, suntikan, obat-obatan mainan, sungguh, hujan di luar tak kami indahkan saat itu, karena kami, terutama aku, terlalu bersemangat bermain dokter-dokteran.

Sekarang, aku sudah berada di sini, menuntut ilmu untuk menjadi dokter sungguhan. Dengan stetoskop yang bukan lagi mainan. Tapi, entahlah, aku seperti kehilangan semangat, aku kehilangan arah, aku kehilangan tujuan awalku. Aku seperti terombang-ambing di lautan lepas. Saat itulah pertanyaan besar muncul. Sanggupkah aku? Sanggupkah aku mengemban amanah ini? Sanggupkah aku tidak mengecewakan mereka yang mempercayaiku?

"cuma kamu yang kini berminat meneruskan jejak nenek dan kakekmu"

Aku memang tak tahu bagaimana sebenarnya kakeku, karena waktu yang tak sejalan. Yang aku tahu tentang kehebatan beliau menolong orang orang sekitar dengan profesinya sebagai tenaga medis  yang masih jarang pada saat itu, yang kini, mereka mengharapkan bahwa aku akan menjadi penerus beliau. 

Aju ingat ketika nenek selalu bertanya aku ingin jadi apa? Dan beliau menceritakan semua pengalaman beliau ketika masuk di sekolah keperawatan, kemudian menolong orang lain. Saat pembicaraan itu, aku belum terlalu menganggapnya serius. 
Namun, kini, disaat aku membutuhkan banyak diskusi tentang hal itu, kondisinya sudah berbeda.

Terlalu banyak memori yang terbuka kali ini, sungguh aku merindukan mereka, aku merindukan diriku sendiri. Aku merindukan diriku yang tak seperti ini, aku merindukan aku di masa kecil, ketika aku tak takut pada apapun. Tak takut apa yang akan terjadi kedepannya, hanya menjalankan semuanya dengan bahagia.

Mungkin aku sudah terlalu jauh, terlalu jauh dari jalanku yang seharusnya, aku terlalu sibuk dengan hal-hal yang tak perlu, aku terlalu sibuk memikirkan hal-hal kecil yang sesungguhnya itu tidak perlu dipikirkan, aku terlalu sibuk memikirkan bagaimana aku ke depannya, bagaimana slanjutnya, aku lupa bahwa Allah lah yang telah menjamin segalanya. Aku lupa bahwa semua ini, semua yang terjadi padaku adalah bagian dari rencananya, skenarionya, aku hanya sebatas pemeran dari semua skenario itu.